HAKEKAT NEGARA
Disusun
Oleh Kelompok 2:
1.
Riski Cahyani (1301401046)
2.
Nirwana (1301401010)
3.
Muhammad Yunus (1301401077)
4.
Hasniati (1301401011)
5.
Rahmatia (1301041016)
Prodi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Cokroaminoto Palopo
2014
KATA
PENGANTAR
Assalamuallaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
ALLAH swt, karena atas berkat, rahmat, dan hidayah-nyalah pembuatan makalah yang
berjudul HAKEKAT NEGARA ini dapat terselesaikan. Pembuatan makalah ini tentulah
masih jauh dari memadai, dan juga terbatas pada teori kajian yang bersumber
dari pendekatan objektif.
Ucapan terima kasuh disampaikan kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga dapat bermanfaat
bagi teman-teman sekalian, agar dapat menyongsong masa depan yang lebih mantap
dan percaya diri.
Wassalamuallaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Palopo,
2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................................
1.2
Rumusan
Masalah...........................................................................................
1.3
Tujuan
Penulisan.............................................................................................
1.4 Maanfaat Penulisan.........................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Ide Dan Pengertian (Konsep) Negara)
2.1.1 Konsep Negara..........................................................................................
2.1.2
Ide Negara.............................................................................................
2.1.3
Pengertian Negara.................................................................................
2.2
Hakekat Negara
2.2.1
Tinjauan
Historis...................................................................................
2.2.1
Peninjauan
Sosiologis...........................................................................
2.2.3 Peninjauan Yuridis................................................................................
2.2.4 Teori Satu, Dua dam Tiga Segi.............................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................
3.2 Saran................................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah
negara di terjemahkan dari kata-kata asing, yaitu:
“staat”
(bahasa Belanda dan Jerman)
“state”
(bahasa Inggris)
“Etat”
(bahasa Prancis)
Istilah “staat” mempunyai sejarah sendiri. Istilah itu
mula-mulanya dipergunakan dalam abad XV di Eropa Barat. Anggapan umum yang
diterima bahwa “staat” (state, etat) tersebut dialihkan dari kata latin
“status” atau “statum”. Kaisar Romawi, Ulpianus, dikatakan pernah memakai kata
“statum” dalam ucapannya “Publicum iusest quad ad statum rei Romanae
spectat”. Menurut Jellinek,kata “statum” pada waktu itu masih berarti “die Vervassung,
die Ordunung” atau sebagaimana disebut sekarang adalah konstitusi. Kemudian
kata “status” itu juga lazim dipergunakan dalam hubungannya dengan kesejahtraan
umum.
Secara etimologis kata status itu dalam bahasa latin klasik
adalah satu istilah yang abstrak yang menujukan keadaan yang tegak dan tetap
atau sesuatu yang mamiliki sifat – sifat yang tegak dan tetap itu. Sejak cicero
(104-43) kata status atau statum itu lazim diartikan sebagai standing
atau station (kedudukan) dan dihubungkan dengan kedudukan persekutukan hidup
manusia sebagaimana diartikan dalam istilah status civitatis
atau status republicae dari kata latin klasik itu dialihkan
beberapa istilah lainya di samping istilah state atau staat
seperti istilah estate dalam arti real estate atau personal
estate dan juga estate dalam arti dewan atau
perwakilan golongan sosial dalam arti yang belakangan inilah
kata status semula diartikan dan baru dalam abad
XVI kata itu dipertalikan dengan kata Negara.
Menurut kranenburg, “lo stato” dari bahasa Italia yang juga
dialihkan dari kata latin “status”itu rupa-rupannya semula dipergunakan dalam
abad XV, dalam laporan-laporan wakil persekutuan Italai, yang mula-mula
berarti:
- Pertama, dalam arti keseluruhan
jabatan tetap;
- Kemudian, dalam arti pejabat-pejabat
jabatan itu sendiri, penguasa beserta pengikut-pengikut mereka;
- Lebih luas lagi, dalam arti kesatuan
wilayah yang dikuasai.
Demikianlah orang berkata tentang”stato die Medici”, stato
di Firenzi”, stato della Chiesa”, dan sebagainya. Dalam abad-abad “res publica”
daripada kata “stato” itu, terutama oleh orang-orang Romawi. Maka dari itu ,
kata “lo stato” adalah sesuatu penemuan yang baru, baikdalam pemakaiannya
maupun dalam maknanya. Kata “lo stato” tidak lagi dipergunakan bagi
”polis” Yunani maupun bagi negara Feodal dari abad menengah yang pada
waktu itu masih yang merupakan “estate-state” atau standen staat”. Istilah
“lostato” itu tepat menunjuk negara teritorial yang muncul dalam abad
XVI,sebagai istilah yang menunjukkan sistem fungsi dan segenap organ umum yang
tersusun rapi yang mendiami sesuatu wilayah tertentu.
Jika praktik mengalihkan kata “state” itu dari kata
“status”, maka doktrin mengenal untuk pertama kali dari tulisan Niccolo
Machiavellin yang lazim dianggap sebagai Bapak Ilmu Politik Modern (sesudah
Aristoteles). Dalam bukunya yang termasyur “the prince”, Machiavelli-lah yang
pertama-tama memperkenalkan istilah “lo stato” dalam pustakaan ilmu politik.
Jean Bodin, sekalipun menemukan istilah “Ilmu politik”, namun masih menggunakan
kata “republique” dalam edisi bahasa prancis dari bukunya yang termasyur itu dan
kata “civitas” dalam edisi bahasa Latinnya.juga Grotius dalam ‘de Jure belli ac
pacis”(1625) masih menggunakan kata “civitas” dan Thomas Hobbes menggunakan
istilah “ Commonwealth”.
Sejak kata “negara” diterima sebagai pengertian yang
menunjukkan organisasi bangsa yang bersifat territorial dan mempunyai kekuasaan
tertinggi, yang perlu ada untuk menyelenggarakan kepentingan bersama dan
mencapai tujuan bersama, maka sejak itu pula “Negara” di tafsirkan dalam
sebagai arti, yaitu:
1. Perkataan “Negara” dipakai
dalam arti penguasa
Jadi untuk mengatakan orang atau orang-orang yang melakukan
kekuasaan yang tertinggi atas persekutuan rakyat yang tertempat tinggi dalam
sesuatu daerah.
2.
Perkataan “Negara” dipakai dalam
arti persekutuan rakyat
Jadi untuk
menyatakan sesuatu lembaga yang hidup dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan
yang tertinggi, menurut kaedah-kaedah hukum yang sama.
3. Perkataan “Negara” didefinisikan
dengan pemerintah
Apabila
kata itu digunakan dalam dalam pengertian kekuasaan Negara, kemauan Negara.
4.
Perkataan “Negara”
didefinisikan dengan suatu wilayah yang tertentu
Dalam hal
ini perkataan dipakai untuk menyatakan suatu daerah, diman diam sesuatu bangsa
dibawah kekuasaan yang tertinggi.
5.
Perkataan “Negara” didefinisikan
dengan arti “kas Negara”
Jadi untuk harta yang dipegang oleh punguasa guna
kepentingan umum.
Secara yuridis perkataan Negara
selalu mempunyai ikatan dengan salah satu dari ke-5 pengertian itu.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa ide dan pengertian negara?
2.
Bagaimana hakekat sebuah negara?
3.
Bagaimanakah penjelasan tentang teori satu, dua dan tiga segi?
1.3 Tujuan
Penulisan
Guna memenuhi tugas yang diberikan oleh
bapak dosen yang membahas tentang Hakekat Negara.
1.4 Maanfaat Penulisan
Agar pembaca bisa lebih memahami tentang apa itu negara,
bagaimana hakekat negara, dan mengapa sebuah negara harus berdiri. Dan agar
tidak terjadi kekeliruan atas pengkajian hakekat negara
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Ide
Dan Pengertian (Konsep) Negara
2.1.1 Konsep Negara memiliki dua
pengertian:
Negara adalah organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya.
Negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang
efektif, mempunyai satu kesatuan politik dan berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya. Antara ide dan pengertian Negara dapat di tarik
perbedaan yang tegas. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
2.1.2
Ide Negara yaitu:
- Sebagai
cita-cita
- Sebagai
idealisme
- Bagaimana
Negara “seharusnya ada”
- Pemikiran
–pemikiran tertentu mengenai Negara
2.1.3 Pengertian Negara, yaitu:
- Sebagai
kenyataan
- Sebagai
realisme
- Bagaimana
Negara itu “ada” dalam kenyataan sejarah
- Kenyataan
dari pemikiran tertentu mengenai Negara
Antara ide dan kenyataan mungkin terdapat
diskrepansi yang besar, yang sudah lumrah diketahui. Apabila diskrepansi antara
ide dan kenyataan Negara terlalu besar adanya, maka ide itu dapat menjadi utopi
belaka atau suatu impian yang tidak dibenarkan oleh kenyataan. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Nasroen, ide Negara tidak boleh idealistis semata-meta sehingga
tidak boleh dilaksanakan dalam kenyataan. Apabila ide dan konsep Negara itu
bertemu dalam kenyataan, maka dalam hal ini terjelmalah Negara yang ideal.
Ide tidak
dapat dipikirkan terlepas dari kenyataan. Ide tidak lahir dalam suatu vakum,
tetapi merupakan suatu refleksi dari suatu keadaan yang nyata. Demikian dengan
halnya dengan ide Negara. Lahirnya ide Negara sudah dapat ditemukan sejak
manusia itu merupakan makhluk social atau untuk lebih tepat lagi sejak
manusia merupakan “zoon politicon”. Jika ada kebenaran mutlak dalam alam yang
serba relative ini, maka kebenaran itu adalah bahwa manusia adalah makhluk yang
suka berkelompok, bermasyarakat. Sebagai makhluk social, maka pada diri manusia
sudah tertanam niat dan hasrat berorgonisasi. Organisasi, sekalipun tidak sama
dengan ketertiban, namun merupakan dua muka dari satu medali yang sama. Organisasi
secara implicit mencakup pengertian ketertiban. Negara adalah suatu bentuk yang
terjelma dari hasrat berorganisasi manusia. Dalam hasrat-hasrat hidup bersama,
hidup berorganisasi, terletak ide yang kasar dari Negara. Memang benar asal
mula Negara tidak dapat dengan tegas ditentukan. Ini soal pertumbuhan sejarah
(historical development). Tetapi secara logis rasional dapat ditetapkan bahwa
berkat adanya hasrat-hasrat social, hasrat-hasrat berorganisasi, maka hidup
bersama manusia mendahului Negara. Dalam kehidupan bersama ini sudah ada
bentuk-bentuk Negara secara embrio (in embrio).
Namun sekalipun ide Negara merupakan
refleksi dari kenyataan, namun masih sering kali antara ide dan kenyataan
terdapat diskrepansi yang adakalanya teramat besar, dan adakalanya kedua hal
tersebut agak berdekatan, ide Negara hanya sebagai yang terjelma. Maka, bagian
dari ide Negara yang terjelma dalam sejarah merupakan titik pertemuan antara
ide dan pengertian (konsep). Semakin besar ide ini terjelma, semakin besar
persamaan antar a cita-cita dan kenyataan, tentunya semakin mendekati Negara
yang ideal.
Bierens de Haan mengungkapkan bahwa dalam
penjelmaan ide Negara dalam sejarah dapat dibedakan tipe-tipe Negara yang
sedikit banyaknya telah merealisasikan 3 tipe ideal Negara. Ke-3 tipe ideal
Negara itu ditinjau berdasarkan kekuasaan pemerintah sebagai pangkal tolak ide
Negara, yakni tipe-tupe Negara yang ditentukan oleh “dasar kekuasaan Negara”
dan “tujuan dari campur tangan pemerintah”. Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka dapat ditemukan 3 tipe ide Negara yang pernah terjelma dalam sejarah,
yaitu:
a. Ide Negara yang didasarkan atas ide
yang abstrak, atau yang transcendental, yaitu ide Negara yang bersumberkan
cipta Tuhan (ide Ketuhanan). Dalam hal ini negara dianggap sebagai ciptaan
Tuhan dan kekuasaan pemerintah bersumberkan pada kuasa dan penetapan tuhan.
Dari ide Negara seperti ini, maka lahirlah pengertian Negara teokratis.
b. Ide Negara yang didasarkan atas ide
yang empiris. Ide ini melahirkan konsep Negara yang didasarka atas kedaulatan
rakyat, yang lebih terkenal dengan sebutan Negara Demokrasi.
c. Ide Negara yang didasarkan atas ide
yang immanent, keyakinan akan akal Ketuhanan yang terjelma dalam sejarah, dalam
persekutuan manusia. Tipe neagra yang timbul berdasarkan ide tersebut
belakangan ini merupakan sintetis tipe-tipe yang telah disebutkan pada bagian a
dan b.
2.2
Hakekat Negara
2.2.1
Tinjauan Historis
Tinjauan secara HISTORIS adalah tinjauan dari perkembangan penggunaan
istilah dan dasar pemakaian istilah tersebut mengenai apa yang kini disebut
sebagai “negara”, yakni sejak masa Yunani dan Romawi kuno, masa abad menengah,
masa permulaan abad modern, hingga masa kini. Masa Yunani Kuno : negara dikenal
dengan istilah Polis, yang kalau kita tinjau dari sudut pandang sekarang
artinya “suatu negara kota”(city state) dengan segala sifat khususnya, seperti
misalnya demokrasi langsung. Dari sini kemudian timbul pengertian politik dan
ilmu politik
Masa Romawi Kuno : negara dikenal dengan istilah “empiri, Empirio,
Empirium”, dengan wilayah yang sudah sangat luas (country state), dan penekanan
pada segi pemerintahan (empire). Negara menjadi semacam milik suatu dinasti
(wangsa, keturunan). Hal ini terus berkembang hingga jaman modern dengan
istilah : Kerajaan, Kekaisaran, Kesultanan, Kesunanan, dll
Masa Abad Menengah :Tinjauannya bersifat keagamaan, sehingga negara
disebut dengan istilah “civitas”(masyarakat). Dalam hal ini oleh Augustinus,
negara dipisahkan antara yang bersifat keagamaan/keilahian (civitas Dei) dan
negara yang bersifat keduniawian (civitas terrena atau civitas diaboli), dengan
pandangannya yang bersifat teokratis-langsung, Augustinus berpendirian bahwa
civitas terrena harus mendekati “civitas Dei” yang diatur oleh hukum-hukum
Tuhan. (teori ini sering dikenal sebagai “Teori MatahariRembulan” yaitu bahwa
Tuhan adalah matahari yang sinar keilahiannya menerangi Raja/negara sebagai
Rembulan).
Dalam masa perkembangannya, dengan munculnya faham untuk memisahkan soal
duniawi dengan soal keagamaan (sekularisme), timbulk teori yang oleh Thomas
Aquino disebut “Teori Dua Pedang”( Zwei Zwaaden Theori) yaitu : Pedang Tuhan
(Penguasa Keagamaan) dipegang Gereja n Pedang Dunia
(Penguasa Dunia) yang dipegang Raja, dimana keduanya terpisah, berkedudukan
sama/sederajat Sehingga dalam masyarakat dikenal tiga organisasi masyarakat
yaitu civitas Dei (keagamaan), Civitas Terrena (Keduniawian) dan Civitas
Academika (Masyarakat Ilmiah) n
Selanjutnya dikenal pula istilah “La Stato” (staat, state) yang
dikem,ukakan oleh Machiavelli, yang mengandung maksud bahwa negara itu sifat
hakekatnya adalah suatu ikatan tertentu atau status tertentu. Pemikiran ini
terus mengalami perkembangan terutama dengan perkembangan teori hukum alam
dimana bernegara berarti suatu peralihan status dari status alamiah ke status
bernegara (dari status naturalis ke status civilis) • Istilah lain kita jumpai
dari perkembangan di Jerman pada masa perang dunia I, yaitu istilah ‘Reich’
atau ‘Rijk’ yang timbul akibat adanya teori Kedaulatan Negara. Istilah ini
berasl dari kata “Regn-Regnum” yang artinya memerintah, lalu menjadi Regering. Dengan
demikian penekanan ada pada unsur Pemerintah, yang kemudian menimbulkan
percampuradukan
2.2.2 Peninjauan
Sosiologis
Tinjauan sosiologis bersifat politis
dikemukan oleh Rudolf Smend yang mengatakan bahwa tugas/fungsi negara yang
terpenting adalah untuk integrasi (mempersatukan). Jadi hakekat negara ialah
sebagai faktor pengintegrasi, yang meliputi persoonlijk (misal rakyat),
zakelijk (tanah/wilayah), dan functioneel(fungsi memerintah dan diperintah).
Oleh karena itu negara ialah ikatan-ikatan keinginan dari manusia agar dalam
keadaan tetap (punya status), begitu lepas keninginan itu negara tidak ada. Variasi
pendangan bersifat sosiologis karena beda penekanan : nn Rudolf Smend
menekankan pada ‘willen verhalthis’( keinginan bersama) bukan ‘herrschafts
verhalthis’ (kekuasaan/pemerintahan) Kranenburg menekankan hakekat negara
sebagai ikatan orang-orang yang satu bangsa (group verbanu, volksgemeinscahft)
Herman Heller dan Logemann menekankan pada
kewibawaan (gezag) yaitu kekuasaan tertinggi ada pada siapa dan berlakunya
untuk siapa. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa banyak negara yang bukan
merupakan suatu bangsa. penekanan pada kewibawaan berarti memandang negara itu
sebagai organisasi atau kesatuan untuk memutuskan dan kesatuan untuk
bekerjasama. Sebagai kesatuan untuk memutuskan, negara merupakan organisasi
kewibawaan.
Menurut max weber, ada 3 macam dasar
kewibawaan : nnn
Charismatisch gezag : kekuasaan yang bersandarkan sifat gaib (magisch
religieus, seperti pada nabi, wali,dsb) Tradisioneel gezag : kewibawaan yang
bersandar pada tradisi, misal kewibawaan yang dimiliki para raja karena
keturunan Rationeel gezag : kewibawaan karena dasar pertimbangan rasional.
Misal kewibawaan pada para tentara dan birokrasi, karena hierarki dan disiplin
serta adanya sanksi. Menurut Prof Logemann, ada 5 macam gezag /kewibawaan
: Magisch-gezag (termasuk teocratisch gezag)
Dynastiek gezag : kewibawaan bersandar keturunan Charismatisch gezag :
kewibawaan karena kekuatan pribadi seseorang Kewibaan yang dilegitimasikan
sebagai simbol perwakilan (mitos politik pada abad 19 : kedaulatan rakyat dan
perwakilan ) Kewibawaan suatu elit : misal mitos abad 20, pasukan pelopor, kaum
proletar, fasisme, nasional-sosialisme.
Oppenheimer memandang negara sebagai
organisasi penaklukan wilayah yang satu terhadap wilayah lain. Jadi sifat
hakekat negara adalah organisasi yang menaklukan kelompok lain. Leon Duguit
menyatakan bahwa sifat hakekat negara ialah organisasi dari orang-orang kuat
yang memaksakan kehendaknya terhadap orang-orang yang lemah. Pandangan lain
dari Johan Kaspar yang melihat sifat hakekat negara sebagai organisasi yang
hidup (organis/de organische staatleer) dan mempunyai kehidupan sendiri yang
dalam berbagai hal menunjukkan kemiripan dengan organisme manusia serta dapat
bertindak seolah-olah seperti orang, bahkan mempunyai kehendak sebagai orang,
kehendak negara dilakukan oleh organ negara (seperti parlemen, presiden dll)
Johan kaspar menggambarkan negara sebagai
suatu pribadi moral dan spiritual yang dapat dibandingkan dengan manusia. Yang
seolah-olah merupakan badannya organisasi konstiusionalnya negara yang seperti
manusia yang juga tunduk pada hukum pertumbuhan, kemunduran, dan akhirnya
kematian. Yang dapat dipandang sebagai nyawanya ialah semangat nasional dari
rakyatnya yang terjelma dalam bentuk bahasa nasional dan adat kebiasaan serta
pandangan hidup rakyatnya. Teori organisme ini sebenarnya sudah dirintis oleh
Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, dan Alfarabi. Kata Alfarabi : negara
sebetulnya adalah suatu tubuh yang hidup sebagai halnya tubuh manusia ( the
state is the body politics as the body pysical)
a.
Pandangan
Socrates
Semua
manusia menginginkan kehidupan aman,tenteram,dan lepas dari gangguan yang
memusnahkan harkat manusia. Kala itu,orang-orang yang mendambakan ketenteraman
menuju bukit dan membangun benteng,serta mereka berkumpul disana menjadi
kelompok. Kelompok inilah yang oleh Socrates dinamakan polis(satu kota
saja).Organisasi yang mengatur hubungan antara orang –orang yang ada di
dalam polis itu tidak hanya mempersoalkan organisasinya saja,tapi juga
tentang kepribadian orang-orang di sekitarnya. Socrates menganggap polis identik
dengan masyarakat,dan masyarakat identik dengan Negara.
b.
Pandangan
Plato
Plato adalah
murid dari Socrates. Ia banyak menulis buku,diantaranya yang terpenting adalah
“Politeia” atau Negara, “Politicos” atau ahli negara, dan “nomoi” atau
undang-undang. Paham plato mengenai Negara adalah keinginan kerjasama antara
manusia untuk memenuhi kepentingan mereka.Kesatuan mereka inilah kemudian
disebut masyarakat,dan masyarakat itu adalah negara. Terdapat persamaan antara
sifat-sifat manusia dan sifat-sifat Negara.
c.
Pandangan
Aristoteles
Menurut Aristoteles, negara itu adalah gabungan keluarga
sehingga menjadi kelompok yang besar. Kebahagiaan dalam negara akan tercapai
bila terciptanya kebahagiaan individu (perseorangan). Sebaliknya,bila manusia
ingin bahagia,dia harus bernegara,karena manusia saling membutuhkan satu
dengan yang lainnya dalam kepentingan hidupnya. Manusia tidak dapat lepas dari
kesatuannya.Kesatuan manusia itu adalah negara.negara menyelenggarakan
kemakmuran warganya. Oleh karena itu ,negara sebagai alat agar kelompok
manusia bertingkah laku mengikuti tata tertib yang baik dalam masyarakat.
Dengan demikian ,negara sekaligus merupakan organisasi kekuasaan.
d. Pandangan Kranenburg dan Rudolf
Smend
Yang dipersoalkan
dalam peninjauan sosiologis ini adalah bagaimana kelompok manusia sebelum
terjadinya negara. Karena kelompok itu perlu diatur,maka dibentuklah organisasi
sebagai alat untuk mengatur kelompok tersebut,yaitu organisasi negara. Agar
alat itu dapat bermanfaat, maka alat itu harus mempunyai kekuasaan/kewibawaan.
Dengan demikian,maka muncul sifat hakikat negara adalah:
· Dwang organisatie;atau
· Zwang ordnung;atau
· Coercion instrument
Jadi, Negara dalam hal ini semata-mata
sebagai alat yang dapat memaksakan manusia-manusia dalam kelompok itu tunduk
pada kekuasaannya,agar berlaku tata tertib yang baik dalam masyarakat.(Max Boli
Sabon,1994:70-71).
Yang memiliki kekuasaan/kewibawaan ini
pertama-tama dilihat dalam masyarakat keluarga, maka seorang ayah muncul
sebagai yang mempunyai kekuasaan itu. Kemudian masyarakat itu menjadi makin
besar yang disebut negara,kekuasaan demikian masih tetap terbawa oleh pemimpin
Negara itu (from the family to state).perkembangan lebih lanjut,ternyata
bahwa tidak semua kelompok masyarakat terjadi dengan sendirinya seperti
masyarakat keluarga itu, melainkan adapula kelompok masyarakat yang sengaja
dibuat. Kelompok masyarakat itu sengaja dibuat,karena orang-orang yang berkelompok
itu merasa dirinya senasib, sekeinginan, sekemauan dan setujuan. Untuk itu, Kranenburg
mencoba mengadakan system pengelompokan manusia didalam masyarakat berdasarkan
dua ukuran, yaitu:
i. Apakah perkelompokan itu ada disuatu tempat
tertentu atau tidak;
ii. Apakah kelompok itu teratur atau tidak.
Dari dua unsur tersebut,diperoleh empat macam kelompok masyarakat
sebagai berikut:
i. Kelompok yang ada disatu tempat
tertentu dan teratur,contohnya,kelompok orang-orang dalam ruang kuliah, atau
kelompok orang-orang yang menonton bioskop.
ii. Kelompok yang ada disatu tempat
tertentu, namun tidak teratur misalnya; massa dalam demonstrasi liar.
iii. Kelompok yang tidak setempat dan
tidak teratur; misalnya, kelompok
tukang jual kacang rebus, kelompok penjaja Koran.
iv. Kelompok yang tidak setempat tetapi
teratur; kelompok inilah yang disebut Negara, oleh Kranenburg, karena kelompok
ini terbentuk bukan karena kesamaan tempat, melainkan membentuk kelompok
yang teratur.
Usaha mereka untuk mengadakan pengelompokan karena adanya rasa bersatu
yang erat disamping mereka menghadapi bahaya bersama. Jadi yang penting menurut
Kranenburg adalah pengelompokan itu terjadi atas dasar bahaya bersama,an tujuan
kelompok itu adalah mengatur diri mereka sendiri.dengan peratura yang
dibuat.sebaliknya dari segi individu,timbul keinginan untuk menaati
peraturan-peraturanyang dibuat (adanya ikatan keinginan). Ikatan keinginan itu
lalu menjelma dalam ikatan kemauan bersama, yang terkenal dengan istilah
willenverhaltnis, baru kemudian secara logis timbul suatu tujuan bersama.
Kesatuan akan tujuan bersama disebut teleologische einheit.Setelah adanya
ikatan kemauan baru timbul soal penguasaan,yaitu persoalan siapa yang menguasai
dan siapa yang dikuasai. Yang memegang kekuasaan adalah ikatan penguasa atau
yang disebut dengan istilah Herrschaftsverhaltnis. Ikatan penguasa
dilihat dari adanya kekuatan yang mengharuskan ditaatinya peraturan dalam
Negara tersebut.Peninjauan sosiologis yang menimbulkan taraf demi taraf sampai
timbulnya hubungan antara yang menguasai dan yang dikuasai inilah merupakan
suatu peninjauan ilmiah yang sistematis.
Sebagai spesifikasi dari peninjauan sosiologis ini adalah peninjauan
politis. Menurut Rudolf Smend,fungsi dari Negara yang terpenting ialah untuk
integrasi (mempersatukan). Kerangka berfikir Rudolf Smend adalah Negara sebagai
ikatan keinginan yang diusahakan agar selalu tetap (statis), dengan cara
mengadakan faktor-faktor integrasi tersebut. Ikatan keinginan dikatakan sebagai
faktor integrasi, karena jika ikatan keinginan itu lepas dari Negara, maka
Negara menjadi tidak ada (lenyap) dan menimbulkan separatisme.Oleh karena
Rudolf Smend mengatakan bahwa tugas Negara yang terpenting adalah integrasi,
maka peninjauannya bersifat politis.
e. Pandangan Heller dan Logemann
Berbeda dengan
pendapat Kranenburg, Heller dan Logemann menyatakan, bahwa yang terlihat adalah
bukan Negara sebagai suatu kesatuan bangsa,melainkan kewibawaan atau kekuasaa
tertinggi ada pada siapa atau berlakunya untuk siapa.
Logemann
mengatakan bahwa Negara itu pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan
yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut
bangsa.Jadi, pertama-tama Negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan, dalam
mana terkandung pengertian dapat memeksakan kehendaknya kepada semua orang yang
diliputi oleh organisasi ini. Maka, Logemann berpendapat bahwa yang primer itu
adalah organisasi kekuasaannya, yaitu Negara. Sedangkan kelompok manusianya
adalah sekunder.
Heller juga
mengatakan bahwa teori Kranenburg itu tidak benar karena jika dalam Negara
jajahan maka antara yang menguasai dengan yang dikuasai tidak meupakan satu
kesatuan bangsa.Demikian pila, seperti di Commenwealth Inggris.
f. Pandangan Openheimer dan Gumplowicks
Bertolak dari herrschaftsverhaltnis,
mereks berpendapat bahwa suatu Negara itu ada karena penaklukan kelompok yang
satu dengan yang lain. Jadi, sifat hakikat Negara adalah organisasi yang
melaklukan kelompok-kelompok lain.
g. Pandangan Leon Duguit
Sebagaimana
pandangan-pandangan sebelumnya yang bertolak dari herrschaftsverhaltnis, demikian
pula Leon Duguit, namun dengan versi yang berbeda.Leon Duguit mengatakan, bahwa
sifat hakikat Negara adalah oarganisasi dari orang-orang yang kuat untuk
melaksanakan kehendaknya terhadap orang-orang yang lemah.
h. Pandangan Harold J. Laski
Dengan adanya herrschaftsverhaltnis
berarti adanya kekuasaan tertentu, yang biasanya disebut adanya suatu
kedaulatan tertentu. Laski berpendapat, bahwa akibat perkembangan peradaban
manusia, maka banyak kelompok masyarakat yang terbentuk karena kesadaran akan
bahaya bersama. Kelompok-kelompok itu memiliki kedaulatannya sendiri dalam
bidannya sendiri pula (misalnya perkumpulan/ organisasi mahasiswa, pemuda,
sepakbola).Jika dibandingkan dengan Negara, maka organisasi Negara memiliki
kedaulatan tertinggi (top organisatie). Pandangan ini disebut pliralistis karena
mengakui kedaulatan ditiap kelompok organisasi, atau istilah lainnya
polyaarchisme. Harold J, Laski adalah salah seorang tokohnya. Kedaulatan dalam
organisasi yang bukan Negara ini yang bukan Negara ini yang kemudian oleh
serjana-serjana belanda disebut souverinitet in eigen kring atau
subsidiariteits beginsel, misalnya gereja-gereja yang mempunyai kedaulatan
sendiri.
2.2.3
Peninjauan Yuridis
Tinjauan YURIDIS tentang sifat hakekat negara dimulai dengan bertitik
tolak pada manusia ‘in abstracto’/ manusia di alam bebas terlepas dari
masyarakat yang hanya dikuasai oleh hukum alam. Manusia bebas tersebut dengan
rasionya ingin mengikatkan diri sehingga mempunyai status tertentu, yaitu
status ‘civilis’(status bernegara). Metodenya bersifat fiksi, spekulatif, tak
peduli apakah dalam kenyataannya ada, sehingga juga a histori. Sifat teori ini
logisrasional, yakni memberi tempat pada logika dan rasio manusia.
Pandangan
yuridis ada 3 variasi :
•
Teori hak milik yang memandang negara sebagai obyek hukum (rechts objekt)
negara sebagai objek hukum berarti negara sebagai obyek dari orang-orang yang
telah bisa bertindak. Teori ini dengan sendirinya memandang negara sebagai
suatu alat dari manusia dan dalam hal ini manusia tertentu yang lebih tinggi
daripada yang dijadikan objek (negara). Teori ini dijumpai pada abad menengah,
dimana negara dianggap sebagai objek perjanjian dari para tuan tanah,
raja-raja, dan para panglima. Prosesnya : tuan-tuan tanah yang memiliki
wilayah/tanah luas tidak dapat sendiri menguasai tanahnya, lalu mengangkat para
panglima tentara dengan imbalan jasa tanah. Tanah yang dimiliki panglima tambah
luas lalu lama-lama menjadi negara, karena pemilikan tanah-tanah itu
menimbulkan hak-hak lain menurut hukum, seperti hak atas orang-orang yang diam
disitu, hak untuk memungut pajak, hak untuk kerja paksa, dll. Sehingga raja,
tuan tanah dan para panglima kedudukannya lebih tinggi daripada negara
•
Teori Perjanjian, yang memandang negara sebagai ‘Rechtsverhaltnis’ yaitu negara
sebagai hasil perjanjian dari orang-orang tertentu dan kemudian orang-orang
tertentu itu membentuk bangunan yang disebut negara. Teori perjanjian ini ada 2
macam, yaitu: n
Perjanjian Perdata yang bersifat dualistis (bertemunya dua kepentingan yang
berbeda, misal kepentingan akan uang dan kepentingan akan perlindungan) n
Perjanjian Publik/perjanjian kemasyarakatan (social contract) yang didasarkan
atas persamaan kepentingan (gesamt-akt), yakni kepentingan bernegara. Jadi pada
hakekatnya negara adalah produk suatu perjanjian baik bersifat Perdata
(dualistik)
•
Pandangan mengenai negara sebagai subjek hukum (rechtssubjekt), yakni negara
bertindak sebagai pembentuk hukum, sebagai ‘rechtspersoon’, sebagai badan
hukum, sebagai penjelmaan tata hukum nasional (kelsen), sebagai organisasi
kekuasaan atau jabatan yang dapat memaksakan kehendaknya berupa hukum. Dari
pandangan ini sangat terkenal ialah “reine rechtslehre” Hans kelsen. Menurut
kelsen negara pada hakekatnya adalah suatu ketertiban norma-norma hukum, suatu
‘normen ordnung’, karena tersusun dari norma-norma hukum yang mengikat, maka
sebagai konsekuensi logis negara punya kekuasaan. akibatnya negara kedudukannya
lebih tinggi daripada rakyat. dalam pandangan yang ‘norm logisch’ ini yaitu
yang memandang negara sebagai suatu sistem hukum semata, ketertiban negara
tidak lain adalah merupakan ketertiban hukum. Dengan demikian negara dan hukum
dianggap identik, sedangkan organ negara Stufen Theorie Hans kelsen (general
Theoriy of law and state, 1945) mengemukakan teori yang sangat terkenal tentang
hirarki norma-norma hukum (stufen theorie) yang berbentuk kerucut/stupa. Kelsen
mengemukakan dua lapis norma hukum, sedangkan muridnya Hans nawiasky
mengemukakan tiga lapis norma hukum. Yaitu :
•
Lapis pertama norma hukum menurut kelsen maupun nawiasky ialah apa yang disebut
‘Grundnorm’ yaitu norma dasar yang tertinggi yang bersifat presupposed dan
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya, tidak perlu diperdebatkan
lagi, karena merupakan sesuatu yang fiktif, hipotetis, aksioma. Pencerminannya
di Indonesia ialah Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 (yang bersifat Filosofis)
•
Kalau kelsen langsung menuju ke lapis norma-norma hukum yang bertingkat-tingat,
nawiasky mengemukakan lapis kedua setelah ‘grundnorm’ ialah staatsgrundgesetze
(aturan dasar negara), pencerminan di Indobnesia ialah batang tubuh UUD 1945,
ini masih aturan dasar yang pokok bagi negara sebagai penjabaran dari Grundnorm
•
Lapis ketiga ialah yang oleh kelsen disebut norm (biasa) atau oleh nawiasky
disebut formelle Gestze, berupa peraturan perundangan, misal di Indonesia UU
dan perpu, PP, Kepres, dsb.
Dalam peninjauan yuridis ini, ada tiga pokok persoalan dalam masyarakat
yang perlu diketahui sebelumnya, yaitu:
a.
Rechts
objek;
b.
Rechts
subjek;
c.
Rechts
verhaltnis;
Akan tetapi secara sistematis pembicaraan
di mulai dengan Rechts subjek, yaitu mengenai siapa yang menjadi subjek dalam
hukum, artinya yang mempunyai hak dan kewajiban. Rechts subjek yang satu
mengadakan hubungan hukum dengan Rechts subjek yang lain. Hubungan ini disebut
Rechts objek.
a. Negara sebagai Rechts Objek
Negara sebagai
Rechts objek berarti Negara dipandang sebagai objek dari oarng unutk bertindak.Teori
ini dengan sendirinya memandang Negara sebagai alat dari manusia tertentu untuk
melaksanakan kekuasaannya.Oleh karena itu, manusia tertentu itu mempunyai
status lebih tinggi dari Negara sebagai objek tadi.
Teori-teori ini
ini dijumpai dalam abad pertengahan, dimana panglima, raja, dan tuan-tuan tanah
sebagai Rechts subjek, dan Negara hanyalah Rechts objek, yaitu alat untuk
menguasai orang yang ada di atas tanah. Jadi, status Negara lebih rendah
daripada orang-orang tertentu tersebut. Negara ini terjadi karena tuan tanah
tidak dapat mengawasi tanahnya yang begitu luas sehingga diangkatlah panglima,
dengan memberikan tanah sebagai hadia. Selain tuan tanah mempunyai hak atas
tanah, dia mempunyai hak untuk memungut pajak terhadap orang yang berada diatas
tanah tersebut, mempekerjakan orang yang tinggal disitu, dan menghukum
orang-orang yang tidak patuh pada peraturan yang dibuatnya. Agar orang tersebut
dapat tunduk pada kekuasaan tuan tanah dan panglima itu, lau dibentuklah
Negara. Maka Negara sebagai alat dari tuan tanah dan panglima tersebut.
b. Negara sebagai Rechts verhaltnis
Pandangan pertama
mengenai Negara sebagai alat, sedangkan yang kedua ini mengenai Negara sebagai
hasil perjanjian.Setelah ada perjanjian masyarakat, lalu timbul ikatan
(verhaltnis) dan ikatan inilah yang dinamakan Negara itu.
Dalam setiap
perjanjian, termasuk ajaran Rousseau mengenai pejanjian pembentuk Negara,
terjadilah pertemuan pentingan.Pandangan dualism pada abad pertengahan
mengatakan bahwa para petani, pedagang, tukang, dan lainnya selaku warga
masyarakat yang tidak dapat menjamin keselamatannya, maka mereka memerlukan
perlindungan dengan mengadakan kontrak dengan penguasa sebagai orang sekotanya.
Dalam hal ini terdapat dua kepentingan yang berbeda, yang satu pihak
menghendaki jaminan keselamatan, sedangkan pihak lain menghendaki uang (berupa
pajak). Ini perjanjian yang timbale balik atau disebut verdrag.
Sisi lain dari
teori Rousseau, dimana melihat rakyat mempunyai keinginan yang satu, kemudian
bersama-sama berjanji membentuk Negara, atau biasa disebut gesamtakt (suatu
tindak hukum bersama).
Baik verdrag
maupun gesamtakt, sama-sama membentuk verhaltnis.Maka, sifat hakikat Negara
jika dipandang sebagai Rechts verhaltnis, Negara adalah perjanjian yang
merupakan tampat pertemuan kepentingan. Meskipun demikian, kontruksi tentang
sifat hakikat Negara berdasarkan verhaltnis ini ada dua macam, yaitu:
i. Pertemuan yang timbale balik
(verdrag); dan
ii. Pertemuan kepentingan yang sama
(tidak timbal balik) atau gesamtakt.
c.
Negara
sebagai Rechts subjek
Pandangan Negara
sebagai Rechts subjek berarti Negara sebagai pembuat hukum. Oleh karena Negara
merupakan organisasi kekuasaan, maka Negara juga dipandang sama dengan
organisasi lainnya yang dipandang sebagai orang atau persoon atau subjek hukum
(Rechts persoon) sebagai Rechts persoon, Negara juga mempunyai hak dan
kewajiban, termasuk hak untuk membuat hukum, dan kewajiban untuk melaksanakan
hukum sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, sifat hakikat Negara jika di
pandang dari sudut Rechts subjek, maka Negara adalah Rechts persoon.
2.2.4 Teori Satu, Dua dam Tiga Segi
·
Teori satu segi
Teori satu segi tentang hakekat negara
maksudnya bahwa pandangan-pandangan teoritik tentang hakekat negara baik yang
bersifat sosiologis, maupun yang bersifat yuridis menunjukkan bahwa
pandangannya tentang hakekat negara hanya terhadap satu aspek/segi saja. Yaitu
kalau tidak pada hakekat negara dalam sosoknya sebagai suatu kenyataan sosial
atau institusi sosial, atau pada hakekatnya negara sebagai suatu
bangunan/bentukan hukum, suatu institusi hukum. Pandangan yang demkian di sebut
“Eine-seiten-theorie” tentang hakekat negara, yang tentunya belum dapat
memberikan gambaran sesungguhnya tentang negara secara lebih utuh. Sehingga
mendorong lahirnya teori dua segi
·
Teori dua segi
Teori dua segi dikemukan oleh Jellinek
yang membagi ilmu negara umum dalam dua aspek yakni ilmu negara sosiologis dan
ilmu hukum negara atau ilmu negara yuridis. Negara dalam pengertian sosiologis
ialah kesatuan ikatan yang hidup bersama dan kerjasama, yang dilengkapi dengan
kekuasaan memerintah yang asli, pada suatu wilayah tertentu, maka pengertian
negara sosiologis mengandung empat unsur : Wilayah negara, Bangsa negara,
Kewibawaan Konstitusi negara. Negara dalam makna yuridis ialah badan wilayah
yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk mengatur diri sendiri.
Lebih jelas lagi menurut Jellinek, hakekat
negara sosiologis ialah negara sebagai ‘soziales factum’, yaitu negara
dipandang dari luar yang menampak sebagai suatu ‘ganzneiy’
(kebulatan/totalitas) dari suatu bentuk kehidupan sosial. Sedangkan negara
secara yuridis ialah pandangan terhadap negara dari dalam yang menampak sebagai
suatu struktur atau organisasi yang terdiri dari lembagalembaga kenegaraan yang
adanya karena penetapan didalam ketentuan hukum tertentu dan melaksanakan
tugasnya berdasarkan ketentuan hukum pula. Atas jasanya dalam mengemukakan
hakekat negara secara lebih lengkap, baik dalam sosok sebagai kenyataan sosial
maupun sebagai bentukan hukum, Jellinek digelari sebagai bapak Ilmu Negara.
·
Teori tiga segi
Pelopor teori ini adalah Han nawiasky yang
mengemukakan hakekat negara dilihat dalam tiga segi, yakni :
• Negara sebagai
idea/gagasan
• Negara sebagai gejala sosial
• Negara hukum sebagai idea sebagai gejala
sosial sebagai gejala/ pengertian
Negara sebagai
idea/gagasan, dirangkum sebagai persekutuan sosial yang membulat/organisasi,
yang berdaulat, mengatasi perhubungan pribadi individual, dari tingkat yang
tertinggi dengan tujuan duniawi yang mencakup (terakhir). Jadi sebagai suatu
gagasan negara itu harus bersifat menyeluruh atau mengatasi individu dan
kolektifitas yang lain. Yang pertama ialah gagasan bernegara dulu, setelah itu
baru aspek sosiologis dan yuridis. Negara senagai gejala sosial, dapat
diringkas dalam rumusan sebagai suatu institusi sosial untuk mewujudkan gagasan
negara (modalita) dalam realita. Negara sebagai pengertian hukum ialah
pengertian yang menyeluruh dari organisasi yang merupakan suatu ikatan duniawi
yang memangku jabatan pengaturan hukum yang tertinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Konsep Negara memiliki dua pengertian:
Negara adalah organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya. Negara adalah
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi
di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai satu kesatuan
politik dan berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Antara ide
dan pengertian Negara dapat di tarik perbedaan yang tegas. Hal tersebut dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Ide Negara yaitu:
- Sebagai
cita-cita
- Sebagai
idealisme
- Bagaimana
Negara “seharusnya ada”
- Pemikiran
–pemikiran tertentu mengenai Negara
2. Pengertian
Negara, yaitu:
- Sebagai
kenyataan
- Sebagai
realisme
- Bagaimana
Negara itu “ada” dalam kenyataan sejarah
- Kenyataan
dari pemikiran tertentu mengenai Negara
Selanjutnya, hakekat negara dapat jelaskan dalam 3 tijauan yaitu:
1. Peninjauan
Sosiologis
2. Peninjauan
Yuridis
3. Peninjauan
Historis
Dan
dapat dilihat dari tiga teori yaitu teori satu, dua dan tig segi.
3.2
Saran
Dalam pembutan makalah ini kami
menyadari banyak kekeliruan dan masih
jauh dari kata sempurna, Oleh karena itu kami mengharapkan dari semua pihak
untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun,untuk kelancaran
pembuatan makalah selanjutnya. Namun, kami berharap makalah kami bisa
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com/teori
satu,dua dan tiga segi tentang hakekat negara/. Diakses pada tanggal 17
September 2014
www.wikipedia.com/hakekat
negara dilihat dari tinjauan sosiologis,yuridis dan historis/. Diakses pada
tanggal 30 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar