Breaking News

Senin, 23 Mei 2016

Makalah Agama Islam : Akhlak (Budi Pekerti)



BAB I
PEMBAHASAN
Secara etimologi akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabi’at. Sinonim kta akhlak adalah budi pekerti, tata krama, sopan santun, moral dan etic.
Sedangkan akhlak menurut istilah sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut : aklhlak adalah suatu bentuk (naluri asli) dalam jiwa seorang manusiayang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan mudah dan sopan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik dan terpuji menurut akal dan agama, maka disebut budi pekerti yang baik. Namun sebaliknya bila melahirkan tindakan dan kelakuan yang jahat maka disebut budi pekerti yang buruk.
Yang di maksud melahirkan tindakan dan kelakuan  ialah suatu yang dijelmakan anggota lahir manusia, misalnya tangan, mulut, demikian juga yang dilahirkan oleh anggota bathin yakni hati yang tidak dibuat-buat. Kalau kebiasaan yang tidak dibuat-buat itu baik disebut akhlak yang baik dan kalau kebiasaan yang buruk disebut akhlak yang buruk.
Jadi dapat kita simpulkan awal perbuatan yang itu lahir malalui kebiasaan yang mudah tanpa adanya pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu . contohnya jika seseorang memaksakan dirinya untuk mendermakan katanya / menahan amarahnya dengan terpaksa , maka orang yang semacam ini belum disebut dermawan / orang yang sabar. Seseorang yang memberikan pertolongan kepada orang lain belumlah dapat dikatakan ia seorang yang berakhlak baik.
A.    Akhlak dan Ikhsan
Dalam sebuah riwayat hadist ketika Rasul saw. ditanya tentang iman, islam, dan ihsan, dan tatkala Jibril as. menanyai rasul saw. tentang apa itu ihsan beliau menjawab, ihsan yaitu menyembah atau beramal kepada Allah swt. seolah-olah engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka yakinlah bahwa sesungguhnya Allah melihat engkau.[1][1]
Ihsan adalah kebajikan, tetapi bukan sekedar kebajikan biasa.Ia adalah puncak kebajikan. Kata ini digunakan untuk dua hal, pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik, karena itu kata ihsan lebih luas dari sekedar memberi nafkah atau nikmat. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam daripada kandungan makna “adil” karena adil adalah memperlakukan orang lain sama dengan perbuatan mereka kepada anda, sedang ihsan adalah memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap anda. Adil adalah mengambil semua hak anda atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya anda terima.[2][2]
Terhadap hamba, ihsan tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain, sehingga dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuknya, sedang ihsan antara hamba dengan Allah adalah leburnya diri, sehingga dia hanya melihat Allah swt. Karena itu pula ihsan antara hamba dengan sesame manusia terwujud ketika dia tidak lagi melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah maka itulah yang menyandang sifat ihsan dan ketika itu pula dia telah mencapai puncak dalam segala amalnya.

Secara bahasa akhlak berasal dari kata bahasa arab yakni bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptaka. Seakar dengan kata Khaliq(Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluk (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan). Dari pengertian etimologis atau bahasa seperti ini, akhlaq bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.
Ihsan dan akhlaq mempunyai hubungan yang sangat erat, di mana kita bisa mengatakan bahwa akhlak yang baik merupakan cerminan atau output dari ihsan, manusia bisa dikatakan mencapai derajat ihsan manakala manusia tersebut menunjukkan akhlaq yang sangat terpuji dan berusaha menghindari dosa-dosa baik kecil maupun besar, berusaha meraih maghfirah Allah, menjadi  suri tauladan bagi sekelilingnya dan menjadi cahaya atau nur bagi sekitarnya. Derajat ihsan merupakan derajat tingkah laku tertinggi untuk lingkup manusia.
Manusia yang ihsan merupakan manusia yang sudah pasti memiliki akhlaq yang agung, sedangkan orang yang berakhlaq baik apalagi buruk belum tentu mencapai derajat ihsan.

B.     Nilai Dan Norma
Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.

Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret

Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis
Dalam membahas nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik serta tujuan yang memiliki nilai. Pembahasan mengenai nilai ini sangat berkaitan dangan pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai dalam filsafat moral sangat bermuatan normatif dan metafisika.
Pendapat Zakiah Daradjat (1995 : 63), moral adalah :
“ kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar ,yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum dari pada keinginan umum dari pada keinginan / kepentingan pribadi.

Jika kita padukan definisi tersebut dengan ajaran Islam, maka moral adalah sangat penting dimana kejujuran, kebenaran, kaedilan dan pengabdian adalah diantara kita berdasarkan definisi tentang moral, maka definisi itu akan menunjukkan bahwa moral itu sangat penting ditumbuhkan pada setiap orang dan bangsa. Kalau moral masyarakat sudah rusak, ketentraman dan kehormatan bangsa itu akan hilang. Untuk memelihara kelangsungan hidup secara wajar, maka perlu sekali adanya moral yang baik dan Islam memberikan system nilai dan moral yang dikehendaki oleh Allah SWT, yang harus diwujudkan dalam perilaku hamba-Nya dalam masyarakat.

HM. Arifin (1994 : 139), mendefinisikan tentang sistem nilai dan moral adalah :
“suatu keseluruhan tatanan yang berdiri dari dua atau lebih dari komponen yang satu sama lainnya saling mempengaruhi atau saling bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat berorientasi kepada nilai dan moralitas Islam”. (HM. Arifin, 1994 : 139).

Dengan adanya system nilai atau system moral yang dijadikan kerangakan acuan yang menjadi rujukan cara berpikir dan berperilaku lahiriyah dan rohaniyah manusia muslim adalah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama islam sebagai wahyu Allah swt, yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad saw. Diman nilai dan moralitas Islami tersebut bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu tidak terpecah-pecah bagian satu dengan yang lainnya berdiri sendiri.Suatu kebulatan nilai dan moralitas mengandung kaidah atau pedoman yang menjadi landasan segala amal perbuatan.
C.  Akhlakul Karimah (Akhlak Mulia)
Akhlakul karimah adalah akhlak yang mulia atau terpuji. Akhlak yanh baik itu dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik pula yaitu sesuai dengan ajaran Allah SWT dan rasil-rasulNya[3][3]
Misalnya :
a.       Bertqwa kepada Allah SWT
“Dan bertaqwalah  kepada Ku, hai orang-orang yang berakal”. (QS Al-Baqarah : 197)
Rasulullah juga telah bersabda yang mana artinya adalah sebagai berikut :
“Bertqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah suatu keburukan dengan kebaikan, niscaya akan menghapuskannya dan bergaullah dengan sesma manusia dengan akhlak yang baik”
(H.R Tirmidzi dari Abu Dzar dan Mu’adz bin Jabal)

b.      Berbuat baik kepada kedua orang tua.
Allah SWT telah berfirman yang mana artinya adalah sebagai berikut :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia.dan hendaklah kamu berbuat baik kepad ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
(QS Al-Isra’ : 23)
Rasulullah juga telah bersabda
“Ridha Allah SWT itu terletak pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murkanya kedua orang tua”
(H.R Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr).
c.       Suka Menolong Orang yang Lemah
Allah SWT telah berfirman dalamsurat  Al-Maidah : 2 yang mana artinya adalah sebagai berikut
“Dan tolong menolonglah kamu  dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa. Dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.
Rasulullah juga telah bersabda :
“Dan Allah akan menolong hambaNya, selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”
(H.R Muslim dari Abu Hurairah)
D. Hubungan Akhlak dengan Iman dan Ikhsan
Hubungan Akhlak dengan Iman
Iman ialah mengetahui dan meyakini akan keesaan Tuhan, mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada qada dan qadar. Untuk rukun iman yang pertama bahwa mengetahui dan meyakini akan keesaan Allah dengan mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat ynag mulia. Untuk itu manusia hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu, yakni Allah SWT. Misalnya bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim (Maha pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.[4][4]
Demikian juga jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sift-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Hal ini juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan.
Demikian pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan , khususnya Al-Qur’an, maka dengan mengikuti segala perintah yang ada dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an harus disertai dengan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an seperti halnya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya kepada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak Rasulullah di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi Muhammad SAW itu berakhlak mulia.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
Artinya: “seseungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.” (Q. S. Al-Qalam: 4)

Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilkaukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Amal perbuatan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitungb serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang biak akan dimasukkan ke dalam syurga. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa dan ingkar kepada Allah.
Selanjtnya beriman kepada qada dan qadar juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar itu seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam akhlak yang mulia.[5][5]
Hubungan Akhlak dengan Ihsan
Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami dari beberapa hadits terkenal seperti “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak dan budi pekerti baik”.
            Ihsan secara lahiriyah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriyah ini, jika dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniyah (batin) akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan taqwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadah kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat Ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan maka ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Adapun landasan Syar’i ihsan yaitu:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٩٥)
Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah: 195)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan kebaikan....”. (QS. An-Nahl :90)








BAB III
PENUTUP
SARAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwapenulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca.

















DAFTAR PUSTAKA
Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Sinaga, Hasanudin dan Zaharuddin, Pengatar Studi Akhlak, Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004
Yaqub, Hamzah. Etika Islam. Bandung : CV Diponegoro, 1988
(artikel ini disadur dari persentasi pada mata kuliah akhlak tasawuf)Ilyas Yunahar, Kuliah Akhalaq, Cet. 10, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2009
Emang Ruddin dkk, Pendidikan Agama Islam, Makassar : Yayasan Fatiya Makassar, 2008
Anwar Rosihan, Akidah Akhlak, Cet. 1, Bandung : CV PUSAKA SETIA, 2008
Shihab Quraish, Menabur Pesan Ilahi, Cet. 2, Ciputat : Penerbit Lentera Hati, 2006
Hamidi Zainuddin, Nasaruddin Thaha dkk, Shahih Bukhari, Terj. Cet. 8 : Jakarta : Penerbit Wijaya Jakarta, 1969


[1][1]Bukhari, Shahih Bukhari, diterjemahkan oleh Zainuddin Hamidy, Fachruddin, Masaruddin Thaha, dan Djohar Arifin, Shahih Bukhari (Jakarta : Penerbit Wijaya Jakarta, 1969), h. 40-41.
[2][2] Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Ciputat, Lentera Hati, 2006, h. 16-17.

[4][4]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 22
[5][5]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By