BAB I
PEMBAHASAN
Secara etimologi akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabi’at. Sinonim kta
akhlak adalah budi pekerti, tata krama, sopan santun, moral dan etic.
Sedangkan akhlak menurut istilah sebagaimana di ungkapkan
oleh Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut : aklhlak adalah suatu bentuk
(naluri asli) dalam jiwa seorang manusiayang dapat melahirkan suatu tindakan
dan kelakuan dengan mudah dan sopan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Apabila naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan
yang baik dan terpuji menurut akal dan agama, maka disebut budi pekerti yang
baik. Namun sebaliknya bila melahirkan tindakan dan kelakuan yang jahat maka
disebut budi pekerti yang buruk.
Yang di maksud melahirkan tindakan dan kelakuan ialah suatu yang dijelmakan anggota lahir
manusia, misalnya tangan, mulut, demikian juga yang dilahirkan oleh anggota
bathin yakni hati yang tidak dibuat-buat. Kalau kebiasaan yang tidak
dibuat-buat itu baik disebut akhlak yang baik dan kalau kebiasaan yang buruk
disebut akhlak yang buruk.
Jadi dapat kita simpulkan awal perbuatan yang itu lahir
malalui kebiasaan yang mudah tanpa adanya pemikiran dan pertimbangan terlebih
dahulu . contohnya jika seseorang memaksakan dirinya untuk mendermakan katanya
/ menahan amarahnya dengan terpaksa , maka orang yang semacam ini belum disebut
dermawan / orang yang sabar. Seseorang yang memberikan pertolongan kepada orang
lain belumlah dapat dikatakan ia seorang yang berakhlak baik.
A.
Akhlak dan Ikhsan
Dalam sebuah riwayat hadist ketika
Rasul saw. ditanya tentang iman, islam, dan ihsan, dan tatkala Jibril
as. menanyai rasul saw. tentang apa itu ihsan beliau menjawab, ihsan
yaitu menyembah atau beramal kepada Allah swt. seolah-olah engkau melihat-Nya,
dan apabila engkau tidak melihat-Nya maka yakinlah bahwa sesungguhnya Allah
melihat engkau.[1][1]
Ihsan adalah kebajikan, tetapi bukan
sekedar kebajikan biasa.Ia adalah puncak kebajikan. Kata ini digunakan untuk
dua hal, pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik,
karena itu kata ihsan lebih luas dari sekedar memberi nafkah atau
nikmat. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam daripada kandungan makna “adil”
karena adil adalah memperlakukan orang lain sama dengan perbuatan mereka kepada
anda, sedang ihsan adalah memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya
terhadap anda. Adil adalah mengambil semua hak anda atau memberi semua hak
orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus
anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya anda terima.[2][2]
Terhadap hamba, ihsan
tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain, sehingga dia
memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuknya, sedang ihsan
antara hamba dengan Allah adalah leburnya diri, sehingga dia hanya melihat
Allah swt. Karena itu pula ihsan antara hamba dengan sesame manusia
terwujud ketika dia tidak lagi melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah
maka itulah yang menyandang sifat ihsan dan ketika itu pula dia telah
mencapai puncak dalam segala amalnya.
Secara bahasa akhlak berasal
dari kata bahasa arab yakni bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang
berarti menciptaka. Seakar dengan kata Khaliq(Pencipta), makhluq (yang
diciptakan) dan khalq (penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas
mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan
antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluk (manusia).
Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan
lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki manakala tindakan
atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan). Dari
pengertian etimologis atau bahasa seperti ini, akhlaq bukan saja merupakan tata
aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi
juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan
alam semesta sekalipun.
Ihsan dan akhlaq mempunyai hubungan
yang sangat erat, di mana kita bisa mengatakan bahwa akhlak yang baik
merupakan cerminan atau output dari ihsan, manusia bisa dikatakan
mencapai derajat ihsan manakala manusia tersebut menunjukkan akhlaq yang
sangat terpuji dan berusaha menghindari dosa-dosa baik kecil maupun besar,
berusaha meraih maghfirah Allah, menjadi
suri tauladan bagi sekelilingnya dan menjadi cahaya atau nur bagi
sekitarnya. Derajat ihsan merupakan derajat tingkah laku tertinggi untuk
lingkup manusia.
Manusia yang ihsan merupakan manusia
yang sudah pasti memiliki akhlaq yang agung, sedangkan orang yang
berakhlaq baik apalagi buruk belum tentu mencapai derajat ihsan.
B.
Nilai Dan Norma
Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret
Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis
Dalam membahas nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik serta tujuan yang memiliki nilai. Pembahasan mengenai nilai ini sangat berkaitan dangan pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai dalam filsafat moral sangat bermuatan normatif dan metafisika.
Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret
Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis
Dalam membahas nilai ini biasanya membahas tentang pertanyaan mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik serta tujuan yang memiliki nilai. Pembahasan mengenai nilai ini sangat berkaitan dangan pembahasasn etika. Kajian mengenai nilai dalam filsafat moral sangat bermuatan normatif dan metafisika.
Pendapat Zakiah Daradjat (1995 : 63),
moral adalah :
“ kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar ,yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum dari pada keinginan umum dari pada keinginan / kepentingan pribadi.
Jika kita padukan definisi tersebut dengan ajaran Islam, maka moral adalah sangat penting dimana kejujuran, kebenaran, kaedilan dan pengabdian adalah diantara kita berdasarkan definisi tentang moral, maka definisi itu akan menunjukkan bahwa moral itu sangat penting ditumbuhkan pada setiap orang dan bangsa. Kalau moral masyarakat sudah rusak, ketentraman dan kehormatan bangsa itu akan hilang. Untuk memelihara kelangsungan hidup secara wajar, maka perlu sekali adanya moral yang baik dan Islam memberikan system nilai dan moral yang dikehendaki oleh Allah SWT, yang harus diwujudkan dalam perilaku hamba-Nya dalam masyarakat.
HM. Arifin (1994 : 139), mendefinisikan tentang sistem nilai dan moral adalah :
“suatu keseluruhan tatanan yang berdiri dari dua atau lebih dari komponen yang satu sama lainnya saling mempengaruhi atau saling bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat berorientasi kepada nilai dan moralitas Islam”. (HM. Arifin, 1994 : 139).
Dengan adanya system nilai atau system moral yang dijadikan kerangakan acuan yang menjadi rujukan cara berpikir dan berperilaku lahiriyah dan rohaniyah manusia muslim adalah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama islam sebagai wahyu Allah swt, yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad saw. Diman nilai dan moralitas Islami tersebut bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu tidak terpecah-pecah bagian satu dengan yang lainnya berdiri sendiri.Suatu kebulatan nilai dan moralitas mengandung kaidah atau pedoman yang menjadi landasan segala amal perbuatan.
“ kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar ,yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum dari pada keinginan umum dari pada keinginan / kepentingan pribadi.
Jika kita padukan definisi tersebut dengan ajaran Islam, maka moral adalah sangat penting dimana kejujuran, kebenaran, kaedilan dan pengabdian adalah diantara kita berdasarkan definisi tentang moral, maka definisi itu akan menunjukkan bahwa moral itu sangat penting ditumbuhkan pada setiap orang dan bangsa. Kalau moral masyarakat sudah rusak, ketentraman dan kehormatan bangsa itu akan hilang. Untuk memelihara kelangsungan hidup secara wajar, maka perlu sekali adanya moral yang baik dan Islam memberikan system nilai dan moral yang dikehendaki oleh Allah SWT, yang harus diwujudkan dalam perilaku hamba-Nya dalam masyarakat.
HM. Arifin (1994 : 139), mendefinisikan tentang sistem nilai dan moral adalah :
“suatu keseluruhan tatanan yang berdiri dari dua atau lebih dari komponen yang satu sama lainnya saling mempengaruhi atau saling bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat berorientasi kepada nilai dan moralitas Islam”. (HM. Arifin, 1994 : 139).
Dengan adanya system nilai atau system moral yang dijadikan kerangakan acuan yang menjadi rujukan cara berpikir dan berperilaku lahiriyah dan rohaniyah manusia muslim adalah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama islam sebagai wahyu Allah swt, yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad saw. Diman nilai dan moralitas Islami tersebut bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu tidak terpecah-pecah bagian satu dengan yang lainnya berdiri sendiri.Suatu kebulatan nilai dan moralitas mengandung kaidah atau pedoman yang menjadi landasan segala amal perbuatan.
C. Akhlakul
Karimah (Akhlak Mulia)
Akhlakul karimah adalah akhlak yang
mulia atau terpuji. Akhlak yanh baik itu dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik
pula yaitu sesuai dengan ajaran Allah SWT dan rasil-rasulNya[3][3]
Misalnya :
a.
Bertqwa kepada
Allah SWT
“Dan bertaqwalah kepada Ku, hai orang-orang yang berakal”. (QS
Al-Baqarah : 197)
Rasulullah juga telah bersabda yang
mana artinya adalah sebagai berikut :
“Bertqwalah kepada Allah dimana saja
kamu berada dan ikutilah suatu keburukan dengan kebaikan, niscaya akan
menghapuskannya dan bergaullah dengan sesma manusia dengan akhlak yang baik”
(H.R Tirmidzi dari Abu Dzar dan Mu’adz
bin Jabal)
b.
Berbuat baik
kepada kedua orang tua.
Allah SWT telah berfirman yang mana
artinya adalah sebagai berikut :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu tidak menyembah selain Dia.dan hendaklah kamu berbuat baik kepad ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia”
(QS Al-Isra’ : 23)
Rasulullah juga telah bersabda
“Ridha Allah SWT itu terletak pada ridha
kedua orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murkanya kedua orang tua”
(H.R Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr).
c.
Suka Menolong
Orang yang Lemah
Allah SWT telah berfirman
dalamsurat Al-Maidah : 2 yang mana
artinya adalah sebagai berikut
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa. Dan
jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.
Rasulullah juga telah bersabda :
“Dan Allah akan menolong hambaNya,
selama hambaNya itu suka menolong saudaranya”
(H.R Muslim dari Abu Hurairah)
D. Hubungan Akhlak dengan Iman dan Ikhsan
Hubungan Akhlak dengan Iman
Iman ialah mengetahui dan meyakini akan keesaan Tuhan,
mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya kitab-kitab yang diturunkan oleh
Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada qada dan
qadar. Untuk rukun iman yang pertama bahwa mengetahui dan meyakini akan keesaan
Allah dengan mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat ynag mulia. Untuk itu
manusia hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu, yakni Allah SWT. Misalnya
bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim (Maha pengasih dan Maha Penyayang), maka
sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang
di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna itu harus
dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman kepada Allah akan
memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.[4][4]
Demikian juga jika seseorang beriman kepada para
malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru
sift-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak
pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Hal ini
juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para
malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan.
Demikian pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan
Tuhan , khususnya Al-Qur’an, maka dengan mengikuti segala perintah yang ada
dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dengan kata lain beriman
kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an harus disertai dengan berakhlak dengan
akhlak Al-Qur’an seperti halnya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya kepada
Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak Rasulullah di
dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi Muhammad SAW itu berakhlak
mulia.
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
Artinya:
“seseungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.” (Q. S.
Al-Qalam: 4)
Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi
akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang
dilkaukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat
nanti. Amal perbuatan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitungb serta
diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan
ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan mereka yang
amalnya lebih banyak yang biak akan dimasukkan ke dalam syurga. Hal tersebut
diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak
melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa dan ingkar kepada Allah.
Selanjtnya beriman kepada qada dan qadar juga erat
kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar
itu seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala
keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam akhlak yang mulia.[5][5]
Hubungan Akhlak
dengan Ihsan
Ihsan dalam
arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat
dipahami dari beberapa hadits terkenal seperti “sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan akhlak dan budi pekerti baik”.
Ihsan
secara lahiriyah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriyah ini,
jika dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniyah (batin) akan menumbuhkan
keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan taqwa yang merupakan buah
tertinggi dari segala amal ibadah kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya
merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat Ihsan
dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan
Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah menjadi akhlak
atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan maka ibadahnya akan
terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Adapun landasan Syar’i ihsan yaitu:
وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٩٥)
“Dan berbuat baiklah kalian karena
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah:
195)
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu
untuk berbuat adil dan kebaikan....”. (QS. An-Nahl :90)
BAB III
PENUTUP
SARAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwapenulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan
kritik dan saran kepada para pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Sinaga, Hasanudin dan Zaharuddin,
Pengatar Studi Akhlak, Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004
Yaqub, Hamzah. Etika Islam. Bandung
: CV Diponegoro, 1988
(artikel ini disadur dari persentasi pada mata kuliah akhlak tasawuf)Ilyas Yunahar, Kuliah Akhalaq, Cet. 10, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2009
(artikel ini disadur dari persentasi pada mata kuliah akhlak tasawuf)Ilyas Yunahar, Kuliah Akhalaq, Cet. 10, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2009
Emang Ruddin dkk, Pendidikan
Agama Islam, Makassar : Yayasan Fatiya Makassar, 2008
Anwar Rosihan, Akidah Akhlak,
Cet. 1, Bandung : CV PUSAKA SETIA, 2008
Shihab Quraish, Menabur Pesan
Ilahi, Cet. 2, Ciputat : Penerbit Lentera Hati, 2006
Hamidi Zainuddin, Nasaruddin Thaha
dkk, Shahih Bukhari, Terj. Cet. 8 : Jakarta : Penerbit Wijaya Jakarta,
1969
[1][1]Bukhari, Shahih
Bukhari, diterjemahkan oleh Zainuddin Hamidy, Fachruddin, Masaruddin Thaha,
dan Djohar Arifin, Shahih Bukhari (Jakarta : Penerbit Wijaya Jakarta,
1969), h. 40-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar